tradisi
makan ber-saprah sangat akrab dalam tradisi masyarakat melayu sambas.
Masyarakat melayu sambas secara teritorial mendiami kawasan
sepanjang pesisir pantai utara kalimantan barat. Tradisi ber-saprah
biasanya di lakukan pada acara-acara tertentu, seperti acara
pernikahan, acara tepung tawar, sunatan, antar pinang, selamatan dan
acara lainnya.
jamuan
makan saprah masih bisa ditemukan dalam tradisi masyarakat melayu
sambas hingga kini. Kata saprah sendiri merupakan ungkapan untuk
menggambarkan jamuan makan khas melayu yang dilakukan secara
berkelompok dengan duduk bersila di lantai. Dalam beberapa jamuan
saprah dapat ditemukan kelompok sepanjang 2 x 28 meter hingga 2 x 40
meter, tergantung dengan jumlah orang yang diundang oleh tuan rumah
yang punya hajatan dan 'tarub' (tenda) yang disediakan. Jamuan untuk
undangan pria dan wanita dilaksanakan di tempat yang sama, namun
dalam waktu yang berbeda. Lazimnya jamuan saprah dilaksanakan untuk undangan pria terlebih dahulu.
Spoiler for :
undangan pria
Spoiler for :
undangan wanita
|
Makan bersaprah tidak memakai sendok, jadi
harus dengan tangan. Makanya disediakan air cuci tangan. Setelah
semuatamu mendapat hidangan baru jamuan boleh dimakan. Ini menunjukan
wujud kebersamaan. Selain makanan, ciri khas yang disajikan adalah air
'sapang' yaitu air berwarna teh dengan aroma khas yang terbuat dari
rendaman kayu Sapang.
|
Harus Berjumlah Lima dan Enam
Walaupun
tidak ada referensi yang dapat menyebutkan secara pasti sejak kapan
tradisi Saprah dimulai, namun banyak pihak yang mengaitkan tradisi ini
dengan ajaran Islam sebagai agama yang dianut masyarakat Melayu
Sambas. Karena itu makna yang dapat diungkapkan dari makan ber-Saprah
tidak lepas dari ajaran agama Islam, seperti jenis makanan dalam
setiap kelompok harus berjumlah 5 (lima) yang melambangkan jumlah
rukun Islam. Sedangkan jumlah orang dalam satu saprah harus berjumlah 6
(enam) orang yang melambangkan jumlah rukun iman dalam agama Islam.
Spoiler for :
Lima jenis makanan
Spoiler for :
Enam orang dalam satu saprah
|
Demikian pula dengan dengan jumlah pengantar makanan yang juga harus berjumlah 6 (enam) orang. Khusus untuk
pengantar makanan, cara berjalan membawa nampan, menghidangkan
makanan dan berbalik arah semuanya teratur, tidak boleh membelakangi
undangan.
Spoiler for :
|
Peran Penyambut Tamu
Adat
tuan rumah adalah menghormati tamu. Agar seluruh tamu yang datang
semuanya mendapat penghormatan dan penghargaan yang selayaknya dari
tuan rumah, maka peran penyambut tamu menjadi penting dalam sebuah jamuan makan ber-Saprah. Penyambut tamu dituntut untuk
mengenal seluruh tamu yang diundang. Penyambut tamu bertugas
menyambut tamu yang datang sekaligus mengantarkan tamu ke tempat
duduknya. Tempat duduk tamu ditentukan dari status sosialnya di
masyarakat, yang disusun mulai dari tempat paling ujung di dalam
'tarub'. Mereka adalah kelompok yang telah menunaikan ibadah haji dan
menjadi panutan, selanjutnya adalah kerabat Raja dan keturunannya, diikuti oleh tokoh dan pemuka masyarakat dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar